Jabatan dan Amanat, Bercermin dari Kisah Abu Dzar

Jundub bin Junadah adalah nama asli Abu Dzar ra. Bergelar al-Ghifari karena dia berasal dari suku atau keluarga Ghifar. Lahir dari keluarga yang kebanyakan dari mereka punya kebiasaan merampok atau berlaku layaknya preman. Kehidupan sukunya yang keras dan berat membentuk Abu Dzar menjadi seorang yang keras dan berani pula. Keislamannya Abu Dzar al-Ghifari ra membawa banyak kontribusi pada Islam. Rasulullah saw yang menyuruhnya untuk kembali ke kampungnya dan mendakwahi kaumnya, berbuah dengan masuk Islamnya seluruh kaum Ghifar.


Setelah perang Badar, Uhud dan Khandaq, Abu Dzar di kampungnya bergegas menyiapkan diri untuk berhijrah ke Madinah dan langsung menemui Rasulullah saw di masjid beliau (untung dia berhijrah sebelum perjanjian Hudaibiyah). Dan sejak itu, Abu Dzar berkhidmat melayani berbagai kepentingan pribadi dan keluarga Rasulullah saw. Dia termasuk kalangan ahlush shuffah yang tinggal di Masjid Nabi dan selalu mengawal serta mendampingi Nabi saw ke manapun beliau berjalan. Sehingga Abu Dzar banyak menimba ilmu dari Rasulullah saw.
Begitu dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah saw dan begitu disayangnya dia oleh beliau, sehingga suatu hari Abu Dzar pernah meminta jabatan kepada Rasulullah saw. Maka beliau langsung menasehatinya :
“Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang yang menerima jabatan itu, kecuali orang yang mengambil jabatan itu dengan cara yang benar dan dia menunaikan amanah jabatan itu dengan benar pula.”

Mungkin hadits di atas menjadi sebuah pertanyaan, "Apa yang melatarbelakangi seorang Abu Dzar ra meminta jabatan kepada Rasulullah saw? Padahal telah mahsyur bahwa Islam melarang umatnya untuk meminta-minta jabatan."
Jawabannya, yang Abu Dzar lakukan tidak sepenuhnya salah. Tentu seluruh sahabat Rasulullah saw adalah orang-orang yang ingin berlomba dan berkontribusi dengan amal shalih, namun biasanya tidak (bahkan jarang) ada yang meminta amanah secara langsung kepada Rasulullah saw. Sedangkan Abu Dzar adalah seorang sahabat yang sangat jujur, lisannya tidak dapat mendustai isi hatinya. Pernah ketika awal masuk Islam, saking gembiranya dengan keislaman dirinya, kemudian Abu Dzar memproklamasikan keislamannya di Ka’bah, di depan orang-orang musyrik Quraisy hingga akhirnya dia dikeroyok oleh mereka. “Tidak ada makhluk yang berbicara di kolong langit yang biru dan yang dipikul oleh bumi, yang lebih benar ucapannya dari pada Abu Dzar,” terang Rasulullah saw ketika menerangkan kepribadian Abu Dzar.

Asma’ bintu Yazid bin As-Sakan menceritakan, bahwa suatu hari Abu Dzar setelah menjalankan tugas kesehariannya melayani Rasulullah saw, dia beristirahat di masjid, dan memang tempat tinggalnya di masjid. Maka masuklah Nabi saw ke dalam masjid dan mendapati Abu Dzar sedang tiduran. Maka Rasulullah meremas jari jemari telapak kakinya dengan telapak kaki beliau, sehingga Abu Dzar pun duduk dengan sempurna. Rasulullah menanyainya, “Tidakkah aku melihat engkau tidur?” Maka dia menjawab, “Di mana lagi aku bisa tidur, apakah ada rumah bagiku selain masjid?” Maka Rasulullah pun duduk bersamanya, kemudian beliau bertanya kepadanya, “Apa yang akan engkau lakukan bila engkau diusir dari masjid ini?” Abu Dzar menjawabnya, “Aku akan pindah ke negeri Syam, karena Syam adalah negeri tempat hijrah, dan negeri hari kebangkitan di padang mahsyar, dan negeri para Nabi, sehingga aku akan menjadi penduduk negeri itu.” Kemudian Nabi saw bertanya lagi kepadanya, “Bagaimana pula bila engkau diusir dari negeri Syam?” Maka Abu Dzar menjawab, “Aku akan kembali ke Masjid ini dan akan aku jadikan masjid ini sebagai rumahku dan tempat tinggalku.” Kemudian Nabi bertanya lagi, “Bagaimana kalau engkau diusir lagi darinya?” Abu Dzar menjawab, “Kalau begitu aku akan mengambil pedangku dan aku akan memerangi pihak yang mengusirku sehingga aku mati.” Maka Rasulullah saw tersenyum kecut mendengar jawaban Abu Dzar itu dan beliau menyatakan (menasehati) kepadanya, “Maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih baik darinya?” Segera saja Abu Dzar menyatakan, “Tentu, demi bapakku dan ibuku wahai Rasulullah.” Maka beliau pun menyampaikan kepadanya, “Engkau ikuti penguasamu, ke mana saja dia perintahkan kamu, engkau pergi ke mana saja engkau digiring oleh penguasamu, sehingga engkau menjumpaiku (yakni menjumpaiku di hari akhir) dalam keadaan mentaati penguasamu itu.”
Rasulullah saw pernah menggambarkan kehidupan Abu Dzar ketika dia terlambat datang di medan Tabuk. Jarak yang jauh antara Madinah dan Tabuk, membuat Abu Dzar sampai dengan terlambat. Dia datang dengan kondisi berjalan kaki dan menuntun keledai tua dan lemah yang membawa barang bawaannya. Di antara umat Islam yang sudah sampai di Tabuk berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, ada seseorang berjalan kaki menuju kesini.” Lantas beliau saw berkata, “orang yang datang itu adalah Abu Dzar al-Ghifari.” Lalu Rasulullah saw berdoa kepada Allah swt, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya untuk Abu Dzar yang berjalan sendirian, dan akan wafat dalam keadaan sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian.”
Begitulah gambaran hidup Abu Dzar. Setelah wafatnya Rasulullah saw, Abu Dzar cenderung menyendiri (tidak hidup bersama sahabat-sahabat Rasulullah saw yang lain), bahkan hingga wafat. Tampak sekali kesedihan pada wajahnya. Dia adalah orang yang sangat keras, tegas, pemberani, dan sangat kuat berpegang dengan segenap ajaran Nabi Muhammad saw di samping kebenciannya kepada segala bentuk penyimpangan atas apa yang ia ketahui dari Nabi saw. Dia adalah orang yang penyayang terhadap orang-orang lemah dari kalangan faqir dan miskin. Sebabnya karena dia terus-menerus berpegang dengan wasiat Nabi sebagaimana yang dia ceritakan.
“Telah berwasiat kepadaku orang yang amat aku cintai (yakni Rasulullah saw) dengan tujuh perkara : Beliau memerintahkan aku untuk mencintai orang-orang miskin dan mendekati mereka, beliau memerintahkan aku untuk selalu melihat keadaan orang yang lebih menderita dariku. Beliau memerintahkan kepadaku juga agar aku tidak meminta kepada seseorangpun untuk mendapatkan keperluanku sedikitpun, dan aku diperintahkan untuk tetap menyambung silaturrahim walaupun kerabat karibku ‘memboikot’ aku. Demikian pula aku diperintahkan untuk mengucapkan kebenaran walaupun serasa pahit untuk diucapkan, dan aku tidak boleh takut cercaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Aku dibimbing olehnya saw untuk selalu mengucapkan la haula wala quwwata illa billah (yakni tidak ada daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan bantuan Allah), karena kalimat ini adalah simpanan perbendaharaan yang diletakkan di bawah Arsy Allah.”
Satu peristiwa menguatkan kesendiriannya yang jauh dari sahabat ra yang lain. Suatu ketika Abu Musa al-Asy’ari ra datang ke Madinah, dia langsung menemui Abu Dzar. Maka Abu Musa berusaha merangkul Abu Dzar, padahal Abu Musa adalah seorang pria yang kurus dan pendek. Sedangkan Abu Dzar adalah seorang pria yang hitam kulitnya dan lebat rambutnya. Maka ketika Abu Musa berusaha merangkulnya, dia mengatakan, “Menjauhlah engkau dariku!”
Merasa ada yang salah, kemudian Abu Musa berkata padanya, “Marhaban wahai saudaraku.” Abu Dzar pun malah mendorong Abu Musa untuk menjauh darinya sambil berkata, “Aku bukan saudaramu, dulu memang aku saudaramu sebelum engkau menjabat jabatan di pemerintahan.”
Kemudian setelah itu datanglah Abu Hurairah ra menemuinya. Ketika datang, Abu Hurairah berusaha merangkulnya dan menyatakan kepadanya, “Marhaban wahai saudaraku.” Namun Abu Dzar malah berkata, “Menjauhlah engkau dariku, apakah engkau menjabat satu jabatan dalam pemerintahan?” Abu Hurairah menjawab, “Ya, aku menjabat jabatan dalam pemerintahan.”

Lalu Abu Dzar menanyainya kembali, “Apakah engkau berlomba-lomba membangun bangunan yang tinggi, atau membuat tanah pertanian, atau hewan piaraan?” Abu Hurairah menjawab, “Tidak.” Maka Abu Dzar pun menyatakan kepadanya, “Kalau begitu engkau saudaraku, engkau saudaraku.”
Sikap Abu Dzar yang demikian keras, karena amat kuat berpegang dengan wasiat Rasulullah saw kepadanya, “Orang yang paling dekat denganku di antara kalian di hari kiamat, adalah yang keadaan hidupnya ketika meninggal dunia, seperti keadaannya ketika aku meninggalkannya untuk mati.”
Telah diketahui dalam sebuah riwayat ketika Rasulullah saw wafat, beliau hanya meninggalkan sebuah baju zirah (perang) yang tergadaikan dan sebuah pedang. Riwayat itu menggambarkan betapa tak berhartanya Rasulullah saw ketika wafat (walaupun sebenarnya Rasulullah masih memiliki rumah-rumah beserta isinya yang didiami oleh istri-istri beliau saw dan tanah Fadak). Demikian keadaan yang dipahami Abu Dzar, bahwa untuk mendapat tempat yang terdekat dengan Rasulullah saw di hari akhir kelak yaitu dengan hidup sangat sederhana dan tidak mengemis (memperlihatkan diri untuk patut dikasihani) sedikit pun.

Itulah sekelumit kisah hidup Abu Dzar al-Ghifari. Semoga kita dapat memahami sisi lain dari sahabat-sahabat Rasulullah saw, yang Allah swt telah meridhai mereka dan mereka pun ridha terhadap (segala kehendak) Allah swt.
Dari sekilas kisah di atas dapat diperoleh beberapa pesan seperti, bersikaplah sederhana, jangan meminta-minta atau mengemis, amanat adalah suatu hal yang besar.  Jabatan merupakan salah satu amanat yang perlu di jalankan sungguh-sungguh. Jika tidak mampu menjalankan amanah itu maka jangan meminta sebuah jabatan.

Referensi: http://bit.ly/2mghUCD

Catatan kaki:
[1] Ahlush shuffah dengan terjemah “penghuni barisan” adalah orang-orang yang tinggal di balik tembok Masjid Nabawi. Ketika perintah pengalihan arah kiblat datang dari arah Masjid al-Aqsha ke arah Ka'bah, akibatnya tembok yang sebelumnya berada di depan, kini menjadi di belakang masjid. Rasulullah saw memerintahkan agar tempat itu diberi atap. Akan tetapi, sisi-sisi lainnya masih dibiarkan terbuka tanpa tembok penutup. Itulah tempat yang kemudian dikenal dengan shuffah yang menjadi tempat tinggal bagi kaum Muhajirin (maupun kaum lainnya) yang papa. Lihat Shahih Shirah Nabawiyah oleh Dr. Akram Dhiya' al-Umuri (tulisan yang benar seharusnya “sirah”, namun judul penerjemahannya agak sedikit berbeda).
[2] Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa’ad, 3 / 164.
[3] Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa’ad, 3 / 161; Sunan oleh at-Tirmidzi, no 3801.
[4] Musnad oleh Ahmad, 6 / 457.
[5] As-Siratu oleh Ibnu Hisyam.
[6] Musnad oleh Ahmad, 5 / 159.
[7] Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa’ad, 3 / 163.
[8] Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa’ad, 3 / 162.

0 Response to "Jabatan dan Amanat, Bercermin dari Kisah Abu Dzar"

Posting Komentar